Kegagalan
pertama ASEAN menghasilkan komunike bersama dalam sejarah 45 tahun
organisasi regional ini pada pertemuan di Phnom Penh, Kamboja, pekan
lalu menunjukkan ada perubahan signifikan dalam regionalisme di kawasan
Asia Tenggara. Salah satu faktor perubahan penting ini adalah China.
Sejak tiga tahun terakhir, tanda-tanda
perubahan dengan China sebagai faktor penyebab perubahan ini sudah mulai
terasa. Tahun 2010, China di depan para menteri luar negeri ASEAN sudah
mengatakan, ”…kalian harus mengerti kami adalah negara besar dan kalian
adalah negara-negara kecil.”
Gagalnya komunike bersama para menlu
ASEAN dalam pertemuan di Kamboja adalah refleksi China melihat ASEAN
yang mudah dipecah dan dibelah, termasuk dalam mencari solusi damai atas
klaim kedaulatan yang tumpang tindih di Laut China Selatan. Kita harus
membaca pikiran China sebagai ”…sekarang kita sudah menjadi kekuatan
yang lebih besar di kawasan, jadi kalian negara-negara ASEAN harus
menunduk lebih rendah lagi.”
Para pengamat dan komentator politik
regional China menyebut krisis yang terjadi di Laut China Selatan,
khususnya antara China dan Filipina, sebagai ombak kecil yang tidak akan
mampu menjungkalkan ”perahu diplomatik besar” China. Dalam bahasa para
diplomat ASEAN di pertemuan Kamboja, China telah membayar kursi
kepemimpinan ASEAN yang tahun ini dipegang Kamboja.
Dan memang, kantor berita Xinhua yang
melaporkan berita pertemuan tahunan ASEAN ini mengutip ucapan terima
kasih Menlu China kepada Perdana Menteri (PM) Kamboja Hun Sen karena
telah mendukung kepentingan utama China. Gagalnya komunike bersama para
menlu ASEAN setelah 45 tahun menunjukkan besarnya pengaruh diplomatik
China dalam organisasi regional ini.
Dengan mudah kita akan menuduh Kamboja
”telah dibeli” China dengan sikap Menlu Kamboja Hor Namhong yang ke luar
dari ruangan setelah pendekatan oleh Menlu Indonesia dan Singapura.
Kamboja memiliki kepentingan yang lebih besar dengan China, terutama
setelah kunjungan Presiden China Hu Jintao, Mei lalu.
Pinjaman lunak dan hibah dari China
kepada Kamboja, yang disalurkan melalui bank-bank Pemerintah China,
digunakan untuk membangun jalan, jembatan, pembangkit listrik tenaga
air, properti, dan resor turis. Bantuan China lebih mudah diperoleh
ketimbang negara maju, seperti AS atau Eropa, yang memiliki syarat
ketat, termasuk persyaratan terkait masalah politik, seperti hak asasi
manusia.
Dalam pertikaian dengan Filipina mengenai
klaim tumpang tindih di Kepulauan Spratly, China pun menggunakan
”otot”-nya dengan menurunkan impor buah-buahan dari Filipina serta
menekan biro perjalanan untuk menunda kunjungan wisata orang-orang
Tionghoa ke Filipina. Tindakan ini menjadi ancaman bagi industri
Filipina yang menghasilkan devisa.
Bagi ASEAN sendiri, terutama Indonesia
sebagai negara besar dan menjadi pendiri penting organisasi regional
ini, perlu mencari terobosan lain kalau memang Menlu Marty Natalegawa
menganggap organisasi ini tak boleh kehilangan sentralitasnya di kawasan
Asia Tenggara. Pasalnya, dalam kurun lima tahun ke depan, akan sulit
bagi ASEAN untuk mengimbangi kekuatan besar yang tidak hanya mewakili
kepentingan China, tetapi juga kepentingan AS.
Regionalisme bagi kawasan Asia Tenggara
dan Asia Timur adalah upaya penting bersama dalam menghadapi perubahan-
perubahan drastis dunia, khususnya sistem ekonomi yang bisa memengaruhi
semua negara. Kita berharap ASEAN tidak terperangkap dan memiliki
strategi ke luar dari situasi global ataupun bentrokan kepentingan
negara-negara besar, khususnya China.
0 komentar:
Posting Komentar